Banyak faktor yang menunjang kesuksesan komunikasi orang tua dengan anak. Salah satunya yang sangat penting adalah orang tua mau untuk mendengarkan dirinya sendiri. Alias meluangkan waktu guna introspeksi diri. Bertanya kepada hati kecil dan mendengarkan suara hatinya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“اسْتَفْتِ قَلْبَكَ وَاسْتَفْتِ نَفْسَكَ” ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
“Tanyailah hatimu! Bertanyalah kepada dirimu!”. Beliau mengulanginya tiga kali. HR. Ahmad dari Wabishah radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini dinilai hasan oleh an-Nawawiy, al-Mundziriy dan asy-Syaukaniy.
Mengobati Traumatis Masa Lalu
Ibu A biasanya mampu mengendalikan perilaku buruk putrinya. Namun suatu hari tiba-tiba emosinya meledak, ketika si kecil mengatakan keinginannya untuk buang air kecil di dalam sebuah mal. Sebelumnya, ibu ini sudah mengajak putrinya ke toilet. Namun si kecil menolak, karena dia memang tidak merasa ingin buang air pada saat itu. Ternyata ketika mereka sudah berada di dalam supermarket yang luas dan penuh orang, mendadak si kecil menyatakan dia kebelet.
Si ibu kesal. Bagaimana mungkin sekarang kebelet? Padahal beberapa menit lalu, di toilet si kecil menolak buang air. Si kecil menghiba dan menjadi rewel. Ibu semakin marah, karena mereka harus turun ke lantai bawah untuk menemukan toilet umum. Respon yang bahkan tidak terduga oleh si ibu sendiri adalah, dia setengah menyeret putrinya untuk keluar dari supermarket.
Episode itu berakhir berkat pertolongan manajer toko yang iba melihat si kecil. Dia mengantarkan mereka ke toilet karyawan di dalam supermarket itu. Melihat celana putrinya telanjur basah, mungkin karena takut dengan kemarahan ibunya, reaksi si ibu semakin emosional. Dan tanpa bisa dicegah lagi, ia menangis sejadi-jadinya sambil memeluk putrinya.
Sesampai di rumah, si ibu berusaha mendengarkan suara hatinya. Dia bertanya kepada diri sendiri, kenapa setiap berada di tempat umum, dia merasa harus mengajak putrinya pergi ke toilet terlebih dahulu? Meskipun si kecil tidak meminta.
Jawaban yang segera muncul adalah, Ibu khawatir si kecil minta ke toilet pada waktu dan tempat yang tidak tepat. Bisa jadi si kecil malah mengompol saking tidak tahannya. Lalu kerepotan memalukan akan terjadi. Kekhawatiran itulah yang mendasari tindakannya.
Biasanya si kecil kooperatif. Sehingga tidak terjadi insiden apa-apa. Namun kejadian kemarin berbeda. Si kecil menyatakan tidak ingin buang air, meskipun sudah dibawa ke toilet. Tapi beberapa menit kemudian, karena Ibu begitu khawatir dan mengomelinya terus, si kecil menjadi tersugesti bahwa dia memang kebelet. Akhirnya apa yang dikhawatirkan Ibu terjadi juga.
Lalu ibu bertanya lagi kepada diri sendiri, mengapa dia begitu khawatir? Bukankah dia selalu siap dengan baju ganti anak di tasnya? Dan yang lebih penting, mengapa reaksinya terhadap insiden itu terasa berlebihan dan tidak masuk akal?
Jawaban yang muncul dari dalam dirinya adalah peristiwa menyedihkan pada masa kecilnya. Ketika dia berusia 5 tahun, seumuran putrinya sekarang, pernah mengalami ‘kecelakaan’. Dia mengompol di tempat ibadah. Ibunya yang merasa begitu malu dengan kejadian itu menghukumnya. Dia diseret keluar dan dipaksa menunggu di dalam kamar mandi. Selama ini dia selalu terbayang pengalaman buruk itu. Trauma!
Setelah merenung, barulah ia menyadari bahwa dia terlalu berfokus pada kekhawatirannya. Akibatnya apa yang ia khawatirkan malah terjadi. Padahal kekhawatiran bahwa putrinya akan mengalami nasib yang sama dengan dirinya, tidaklah beralasan. Dia adalah ibu yang lebih berpengetahuan ketimbang ibunya dulu.
Maka dia memaafkan ibunya atas perlakuan beliau kepadanya waktu kecil. Juga memaafkan diri sendiri atas perlakuannya kemarin terhadap putrinya. Alhamdulillah, luka lama ditemukan dan berhasil diobati. Setelah berusaha mendengar diri sendiri…
Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 14 Rabi’ul Awwal 1441 / 11 Nopember 2019